Protes Lahan Turun-Temurun Diserobot, Warga Sukarami Minta Pembangunan Batalyon TP Dipindahkan
Terlihat para petani penggarap lahan yang mendatangi lokasi rencana pembangunan Batalyon TP di kawasan Transmigrasi Air Sulian, Desa Batu Ampar, Kecamatan Kedurang, Rabu 19 November 2025.-Renald/Bengkuluekspress-
Harianbengkuluekspress.id – Rencana pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) di kawasan Transmigrasi Air Sulian, Desa Batu Ampar, Kecamatan Kedurang, menuai penolakan dari warga Desa Sukarami yang mempunyai kebun di lokasi rencana pembangunan Yon TP Kecamatan Air Nipis.
Warga mengklaim bahwa sekitar 100 hektare lahan yang direncanakan untuk pembangunan tersebut merupakan lahan turun-temurun yang telah digarap secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat.
Penolakan itu disuarakan langsung oleh perwakilan warga Sukarami, Dodi Kamsino. Ia menegaskan bahwa masyarakat merasa sangat dirugikan dengan rencana pembangunan tersebut. Keluhan warga telah disampaikan kepada Kementerian Transmigrasi, Kodim 0408 Bengkulu Selatan, dan Dinas Transmigrasi Bengkulu Selatan saat pengecekan ulang lahan Batalyon TP di kawasan Transmigrasi Batu Ampar pada Rabu, 19 November 2025.
BACA JUGA:Pasca Dugaan Pencatutan Nama Polda Bengkulu, Muncul Kabar Berbagi Tanah di Keban Agung 1
BACA JUGA:Meriahkan Syiar Islam, MTQ Ke-7 Kabupaten Mukomuko Resmi Dibuka
“Sudah kami sampaikan bahwa pertama, musyawarah Desa Batu Ampar pada 2010 tidak melibatkan warga Desa Sukarami dan sekitarnya. Berdasarkan arsip di Dinas Transmigrasi itu tidak pernah melibatkan petani penggarap warga Desa Sukarami dan sekitarnya yang lebih kurang ada 200 kepala keluarga,” ujar Dodi kepada BE, Kamis 20 November 2025.
Dodi menyebutkan bahwa selama ini tidak ada sosialisasi dari Dinas Transmigrasi kepada para petani penggarap. Warga juga tidak pernah melihat adanya patok atau tapal batas yang jelas mengenai area hak pengelolaan lahan transmigrasi.
“Jadi kami tahu lokasi sudah masuk wilayah transmigrasi, HPL atas nama Kementerian Transmigrasi itu setelah adanya rencana pembangunan Batalyon TP ini. Kalau bukan itu, kami tidak tahu kalau wilayah yang kami usahakan secara turun-temurun dari nenek dan orang tua kami ini sudah masuk sertifikasi HPL itu,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa pengecekan ulang lahan yang dilakukan pemerintah belum menyeluruh dan hanya mencakup beberapa titik di dekat kawasan transmigrasi.
Karena itu, warga meminta Kementerian Transmigrasi memindahkan lokasi pembangunan Batalyon TP.
“Karena kami yang terdampak itu hanya bergantung hidup di lahan tersebut. Kami tidak menolak pembangunan Batalyon TP, tetapi kami hanya meminta pindahkan lokasinya saja karena tidak sedikit warga yang terdampak,” sambungnya.
Dodi menegaskan bahwa pemaksaan pembangunan di lokasi tersebut berpotensi menimbulkan dampak sosial yang serius. Warga khawatir kehilangan satu-satunya sumber penghidupan.
“Bahkan mungkin ada anak yang putus sekolah, kami bertani hanya di kebun inilah untuk hidup. Ada potensi keterlambatan pembayaran cicilan di bank, karena tidak sedikit petani yang memiliki pinjaman di perbankan,” ungkapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dari rencana awal pembangunan seluas 100 hektare, hasil pengecekan lapangan menunjukkan kemungkinan area yang dipatok lebih luas dari yang direncanakan.