
"Tingginya angka perceraian ini bukan sekedar angka. Kita harus menanganinya dengan serius", ujarnya.
Ia menekankan bahwa fasilitator Bimwin harus dapat menyesuaikan metode konseling mereka dengan kepribadian pasangan, terutama pasangan muda.
Informasi yang jelas dan menarik juga perlu diberikan agar materi yang disampaikan menjadi lebih efektif. Peran Fasilitator Bimwin tidak boleh berhenti pada tahap pra-pernikahan, tetapi harus terus berlanjut setelah pasangan menikah.
Abu Rokhmad juga mengungkapkan pentingnya bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti masjid, rohaniawan desa, dan komunitas agama, untuk membangun ketahanan keluarga yang lebih kuat.
"Bimwin harus berperan dalam menyelesaikan masalah sosial seperti pernikahan anak, stunting dan perceraian," pungkasnya.
Diharapkan dengan meningkatkan jumlah fasilitator, memanfaatkan teknologi dan bersinergi dengan berbagai pemangku kepentingan, program Bimwin akan menjadi lebih efektif dalam membangun keluarga yang harmonis dan mengurangi angka perceraian di Indonesia.(**)