Banyak kandidat potensial lainnya dilarang mencalonkan diri, dan jutaan warga Iran memilih untuk tidak memberikan suara atau membatalkan suara mereka.
Saat memimpin, Ebrahim Raisi tidak lepas dari kontroversi, terutama terkait perannya dalam eksekusi massal tahanan politik pada tahun 1988.
Eksekusi ini terjadi setelah Pemimpin Tertinggi Iran saat itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini, menerima gencatan senjata yang ditengahi PBB dengan Irak.
Raisi terlibat dalam komisi yang mengadili tahanan politik secara cepat dan banyak di antaranya dijatuhi hukuman mati
Pada tahun 2019, Departemen Keuangan AS memberikan sanksi kepada Raisi atas pengawasannya terhadap eksekusi ini dan tindakan kejam lainnya terhadap tahanan di Iran.
Raisi terus menghadapi sanksi internasional atas pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai presiden, Ebrahim Raisi mendukung kebijakan pengayaan uranium Iran hingga mendekati tingkat senjata dan menghambat inspeksi internasional, yang semakin memperburuk hubungan Iran dengan negara-negara Barat.
Selain itu, Raisi juga mendukung serangan terhadap Israel sebagai tanggapan atas dugaan serangan Israel yang menewaskan jenderal Iran di Damaskus, Suriah.
BACA JUGA:BREAKING NEWS : Ratusan Massa 2 Kecamatan di BS Demo di DPRD, Ini Tuntutannya
BACA JUGA:Pendaftaran Beasiswa Digital Talent Scholarship Dibuka, Ini Syarat dan Ketentuannya
Selain hubungannya di dunia Internasional, di dalam negeri, Raisi mendukung tindakan keras terhadap protes dan perbedaan pendapat.
Pada tahun 2022, setelah kematian Mahsa Amini dan protes nasional yang menyusul, lebih dari 500 orang tewas dan lebih dari 22.000 ditahan.
Sebuah panel investigasi PBB menemukan bahwa Iran bertanggung jawab atas kekerasan fisik yang menyebabkan kematian Amini setelah penangkapannya karena tidak memakai hijab sesuai aturan. (*)