Diplomasi jadi Aksi Nyata: Prabowo Menuju Kairo dan Gaza
IST/BE Diplomasi jadi aksi nyata Prabowo menuju Kairo dan Gaza.--
Kredibilitas Indonesia tidak dibangun dalam semalam. Selama dua dekade terakhir, Indonesia memperkuat kapasitas pasukan perdamaian, membangun interoperabilitas lintas matra, serta memperluas keterlibatan dalam misi PBB di berbagai kawasan. Dari Lebanon hingga Afrika Tengah, pasukan Indonesia dikenal profesional dan dipercaya oleh warga sipil di lapangan. Kehadiran Indonesia di Kairo membawa jejak panjang itu sebagai bukti, bukan janji.
“Warga sipil tidak dilindungi dengan kata-kata, tetapi dengan mandat, logistik, dan kemauan politik,” tulis Ramesh Thakur dalam artikelnya The UN and Peacekeeping: Lessons Learned? (2001). Di Kairo, Presiden Prabowo membawa ketiganya: mandat kuat, kesiapan pasukan, dan posisi politik yang netral serta dipercaya.
Kai Michael Kenkel menjelaskan, dalam bukunya bahwa keberhasilan misi modern tidak cukup dengan kehadiran militer, tetapi juga keterampilan menghubungkan keamanan dengan kemanusiaan. Dalam konteks Gaza, pasukan penjaga perdamaian harus bisa menjamin jeda tembak, menjaga jalur bantuan, dan menghubungkan kebutuhan warga dengan sistem internasional.
Indonesia memiliki pengalaman penting dalam rekonstruksi wilayah pascakonflik dan bencana. Keberhasilan membangun kembali Aceh dan Nias pascatsunami menjadi bekal teknis dan sosial untuk terlibat dalam rekonstruksi 20.000 hektare kawasan Gaza yang hancur akibat perang.
Diplomasi yang dirasakan
Salah satu agenda penting dari perjalanan Presiden Prabowo kali ini adalah kemungkinan peninjauan langsung ke Gaza setelah agenda puncak KTT selesai. Jika situasi keamanan memungkinkan, kehadiran itu akan menjadi bentuk tertinggi tanggung jawab. Dari podium ke lapangan, dari kata ke keputusan.
Ketika seorang kepala negara hadir langsung di zona pascakonflik, ia tidak hanya membawa pesan politik, tetapi juga menyampaikan bahwa negara hadir sepenuh hati untuk menjadi bagian dari solusi. Ini bukan soal unjuk kekuatan, tetapi unjuk keseriusan untuk melindungi kehidupan.
Langkah ini juga mencerminkan karakter baru diplomasi Indonesia: tidak agresif, tetapi asertif; tidak mendikte, tetapi membentuk konsensus; dan tidak sekadar hadir dalam forum, tetapi sebagai penggerak hasil nyata.
Presiden Prabowo membawa pendekatan diplomasi keamanan dan ketahanan yang menggabungkan kredensial moral, kapasitas operasional, dan kepekaan budaya. Dalam konteks Gaza, pendekatan ini sangat relevan dan dibutuhkan.
Vali Nasr dalam bukunya The Dispensable Nation (2013) menekankan bahwa negara-negara menengah kerap menjadi jangkar stabilitas karena tidak membawa beban agenda kekuatan besar. Indonesia, dengan sejarah netralitas aktif dan kontribusi nyata di berbagai misi perdamaian, menempati posisi kredibel untuk itu.
Kehadiran langsung Presiden di Gaza juga akan memberi pesan penting bagi publik global: bahwa Indonesia tidak hanya menagih akuntabilitas dari negara lain, tetapi melaksanakannya sendiri. Solidaritas bukan sekadar retorika, melainkan kerja nyata dari garis depan.
BACA JUGA:Pemerintah Akan Turunkan BPIH, Segini Estimasi Biaya Ibadah Haji 2026
Indonesia dan arsitektur perdamaian baru