Terbitkan Sertifikat Minuman Beralkohol Tinggi, Ini Penjelasan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal
ilustrasi minuman alkohol -istimewa/bengkuluekspress-
Harianbengkuluekspress.id- Baru-baru ini beredar video berisi adanya produk dengan nama "tuyul", "tuak", "beer", dan "wine" yang mendapat sertifikat halal.
Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kembali menuai sorotan. Seiring telah menerbitkanm sertifikat halal untuk produk berbahan alkhol tinggi seperti wine, beer, tuak, dan tuyul halal.
Kebijakan nyeleneh BPJPH itu pun menjadi viral di media sosial. Indonesia Halal Watch (IHW) bahkan memberikan masukan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto terkait BPJPH tersebut.
"Adanya produk wine, beer, tuak dan tuyul yang dapat sertifikasi halal BPJPH, tentu wajib didiskusikan dan diaudit ulang. Ini agar produk tersebut diganti dengan nama-nama produk yang baik," ungkap Founder IHW, Dr KH Ikhsan Abdullah.
Ia meminta pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk membentuk badan halal yang diberikan fungsi dan kewenangan menata kelola sertifikasi halal terhadap semua produk yang masuk dan beredar di Indonesia, yang mandiri dan bertanggung jawab langsung kepada presiden dan memiliki anggaran dan kewenangan yang eksekutabel.
BACA JUGA:970 item Kosmetik Impor Ilegal Senilai Rp 11,4 miliar Diamankan, Terbanyak Dari 4 Negara ini
BACA JUGA:Hari Kesaktian Pancasila 2024: Mendikbudristek Tekankan Pentingnya Pendidikan Karakter
Terkait hal itu, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin menuturkan bahwa pihaknya telah melakukan kajian bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalanya.
“Pertama harus kami jelaskan bahwa persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya. Artinya masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya. Karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku.” kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa 1 Oktober 2024.
Masih dikatakannya, "Yang kedua, penamaan produk halal sebetulnya sudah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga, Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal." sambungnya.
Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat.
BACA JUGA:Disebut Halangi Kampanye Paslon, Begini Kata Kades Maju Makmur Mukomuko
BACA JUGA:Diterpa Isu Bulying Hingga Kekerasan Seksual, Kemenag Kembali Aktifkan Ekstra Pramuka, Ini Tujuannya
"Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal. Hal ini terjadi karena masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda terkait penamaan produk. Hal ini dibuktikan dengan data kami di Sihalal." ungkapnya.
Contohnya, produk dengan nama menggunakan kata “wine” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa. Contoh yang lain, produk dengan nama menggunakan kata “beer” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 8 produk. Dan 14 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa.
“Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH, dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain.” jelas Mamat.
BACA JUGA:Ada Dugaan Pemotongan Dana PIP di Sekolah, Ini Kata Plh Disdikbud
BACA JUGA:Bank Bengkulu Tawarkan Program Deposito AKSI, Bunga Lebih Tinggi dan Hadiah Menarik
Data tersebut, lanjutnya, mencerminkan fakta adanya perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Perbedaan itupun sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama itu saja, tetapi tidak terkait dengan aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.
Kondisi ini, menurut Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro, masih dalam ruang lingkup proses penyelenggaraan layanan sertifikasi halal yang berdasarkan perintah Undang-undang pelaksanaannya dilakukan oleh ekosistem layanan yang luas dan melibatkan banyak aktor.
“Untuk itu, BPJPH mengajak semua pihak untuk duduk bersama, berdiskusi dan menyamakan persepsi, agar tidak timbul kegaduhan di tengah masyarakat terkait nama-nama produk. Sehingga masyarakat tidak ragu untuk mengonsumsi produk-produk bersertifikat halal karena telah terjamin kehalalannya.” tegas Dzikro.
BPJPH juga mengimbau dan mengingatkan kembali seluruh pihak tentang kewajiban sertifikasi halal tahap pertama yang akan berlaku setelah 17 Oktober 2024, khususnya untuk produk makanan dan minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan.
“Alangkah baiknya, saat ini energi seluruh stakeholder Jaminan Produk Halal bersama masyarakat dan pelaku usaha digunakan untuk menyukseskan kewajiban sertifikat halal yang sudah semakin dekat.” pungkasnya. (**)