Dilema Antara Hak dan Kewajiban: Tinjauan Pembatasan Hak Atas Administrasi Kependudukan

Ocha Andea Septika-Istimewa/Bengkulu Ekspress-

Memperoleh pelayanan administrasi kependudukan (adminduk) merupakan Hak Asasi Manusia yang melekat pada diri setiap orang. Pelayanan administrasi kependudukan merupakan implementasi dari hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagaimana yang termaktub di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945.

Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan, Administrasi kependudukan diartikan sebagai rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan Data Kependudukan melalui Pendaftaran Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan pembangunan sektor lain.

Administrasi kependudukan sangat penting tidak saja bagi warga negara yang bersangkutan tetapi juga penting bagi negara dalam merencanakan program pembangunan. Bagi warga negara, identitas kependudukan sangat penting untuk dapat memperoleh layanan dari pemerintah sebagai warga negara.

Sedangkan bagi negara, identitas kependudukan sangat penting untuk dapat merencanakan program pembangunan, karena hampir semua kegiatan pembangunan, baik yang bersifat sektoral maupun lintas sektor, terarah dan terkait dengan penduduk.

Pentingnya administrasi kependudukan tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan oleh pemerintah daerah saat ini. muncul di beberapa daerah pembatasan pelayanan administrasi kependudukan atas dasar kepentingan pemenuhan kewajiban pembayaran Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (atau dikenal dengan PBB-P2).

Pembatasan tersebut dilakukan dengan menjadikan bukti pembayaran PBB-P2 sebagai syarat untuk masyarakat mendapatkan layanan administrasi kependudukan, dengan bentuk Surat Edaran Kepala Daerah.

Secara hukum, pembatasan hak asasi sejatinya hanya dapat dilakukan melalui pengaturan di dalam Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945.

Adanya kewajiban warga Negara (masyarakat) untuk membayar PBB-P2 bukan berarti dapat dijadikan prasyarat perolehan pelayanan administrasi kependudukan. Masyarakat yang menunggak pembayaran PBB pada dasarnya tetap tidak dapat dihambat hak lainnya seperti pelayanan pada instansi pemerintahan baik tingkat desa/kelurahan maupun daerah.

Pembatasan hak administrasi kependudukan melalui SE Kepala Daerah dalam hal pencatatan sipil seperti pembuatan surat domisili, KTP maupun dokumen kependudukan lainnya dengan alasan adanya tunggakan PBB, merupakan tindakan impulsif yang dilakukan oleh pemerintah, karena pembatasan atas HAM seseorang merupakan suatu tindak kejahatan.

Tindakan ini nantinya dikhawatirkan akan menjurus pada lahirnya ketidakadilan serta kesetaraan di tengah masyarakat. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa persyaratan bukti lunas PBB-P2 dalam pelayanan administrasi kependudukan adalah sebagai upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor Pajak. PBB-P2 sendiri merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna menunjang pembangunan daerah baik berupa perbaikan dan peningkatan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, sarana dan prasarana serta peningkatan pelayanan publik pada masyarakat lainnya.

Hal inilah yang pada akhirnya memunculkan dilema dalam penyelenggaraanya, di satu sisi pemerintah daerah berhak atas pemungutan PBB-P2 sebagai bagian dari PAD sektor Pajak, namun disisi lain kesadaran masyarakat untuk membayar PBB-P2 secara sukarela masih sangatlah minim sehingga hal ini menyulitkan pemerintah untuk menjalankan tugasnya. Berangkat dari adanya kondisi di atas, maka kemudian pemerintah mengambil kebijakan sepihak, yang sifatnya cenderung membatasi hak masyarakat, meskipun hal tersebut tidak memiliki relevansi antara satu dengan yang lainnya.

Jika dilihat secara konseptual, kebijakan pembatasan ini merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan dilarang berdasarkan Undang-Undang. Namun, jika ditinjau dari sisi praktisnya, maka pemerintah juga memerlukan kebijakan agar dapat meningkatkan PAD di tengah kondisi minimnya kesadaran masyarakat untuk membayar PBB-P2 sebagai kewajiban sekaligus konsekuensi atas kepemilikan tanah dan bangunan. 

Sebagai solusi atas hal tersebut, pemerintah daerah seharusnya dapat lebih kreatif dalam melakukan pemungutan PBB-P2, seperti upaya jemput bola PBB-P2, Gerai PBB-P2 keliling secara periodik, inovasi terkait metode pembayaran PBB-P2, dan yang paling penting adalah peningkatan sosialisasi ke tengah-tengah masyarakat/wilayah dimana kesadaran membayar PBB-P2 masih rendah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya PBB-P2 bagi pembangunan daerah seperti pembangunan infrastruktur, program-program pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan pelayanan publik kepada masyarakat. Harapannya PAD tetap dapat tercapai tanpa harus mengurangi hak masyarakat akan pelayanan administrasi kependudukan. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan