BACA JUGA: Sukatno Disambut Antusias Warga, Bagikan Hadiah HUT RI
Namun, Rizon juga mengakui bahwa harga TBS yang ditetapkan pemerintah hanya berlaku bagi kebun sawit yang bermitra dengan perusahaan besar. Sementara itu, bagi kebun mandiri atau petani yang menjual TBS kepada pengepul, harga yang berlaku adalah harga pasar, yang ditentukan oleh kesepakatan antara petani dan pengepul.
"Harga TBS berdasarkan penetapan itu stabil, rata-rata di harga Rp 2.700 per kilogram. Tapi kalau yang mandiri atau tidak bermitra, itu memakai harga pasar. Artinya hanya kesepakatan antara petani dan pengepul,” tambah Rizon.
Ia menambahkan, penerapan harga pasar bisa sangat menguntungkan bagi petani jika harga TBS sedang meningkat. Dalam kondisi tertentu, harga TBS bahkan bisa mencapai Rp 3.000 per kilogram. Namun, risiko yang dihadapi petani juga tinggi, terutama ketika harga TBS mengalami penurunan tajam.
“Kalau harga sedang bagus, petani bisa untung besar karena harga bisa mencapai Rp 3 ribu per kilogram, tetapi kalau harga sedang turun, itu bisa jadi sangat merugikan petani. Harganya bisa turun drastis hingga Rp 1.600 per kilogram,” jelasnya.
Salah satu petani sawit di Bengkulu, Manonggor Siahaan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi harga pasar yang tidak menentu ini.
BACA JUGA:Kemenag Buka Seleksi CPNS Untuk Santri Hingga Disabilitas, Ini Jadwal dan Syaratnya
"Kami petani mandiri sering merasa dirugikan karena harga pasar ini fluktuatif. Ketika harga jatuh, kami yang menanggung kerugiannya,” keluh Manonggor.
Ia menambahkan, stabilitas harga yang ditetapkan pemerintah sebenarnya sangat membantu petani. Namun, tanpa kemitraan dengan perusahaan, petani mandiri seperti dirinya tidak bisa menikmati harga stabil tersebut.
“Kalau bisa, kami juga ingin ada jaminan harga stabil seperti yang didapatkan petani yang bermitra. Tapi realitanya, kami harus terus berjudi dengan harga pasar," tutupnya. (Rewa Yoke)