Harianbengkuluekspress.id- Sebanyak 10 Satuan Pendidikan Keagamaan Kristen (SPKK) swasta telah resmi berubah status menjadi sekolah negeri.
Adapun 10 SPKK yang beralih status menjadi negeri, terdiri dari berbagai jenjang, mulai dari Sekolah Menengah Pertama Teologi Kristen (SMPTK), Sekolah Menengah Teologi Kristen (SMTK), hingga Sekolah Menengah Agama Kristen (SMAK)
Ke sepuluh SPKK tersebut tersebar di empat provinsi, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Nusa Tenggara Timur.
Perubahan status ini ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 23 tahun 2024 tentang organisasi tata kerja Satuan Pendidikan Keagamaan Kristen. PMA tersebut diserahkan oleh Muhammad Ali Ramdani, Sekretaris Jenderal (Sekjen) K ementerian Agama kepada Jean Marie Tulung Dirjen Bimas Kristen, kemenag.
“Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Betapapun cerdasnya seseorang, tanpa dilandasi keimanan, ia akan tersesat. Dengan penegerian ini, diharapkan keberlanjutan dan kualitas sekolah-sekolah ini dapat meningkat," ungkap M. Ali Ramdhani dikutip dari laman Kemenag Selasa, 15 Oktopber 2024.
Dikatakannya, penegerian sebagai bagian dari visi Kemenag dalam meningkatkan aksesibilitas, kualitas, dan tata kelola pendidikan keagamaan Kristen di Indonesia.
BACA JUGA:Hari Ini, Prabowo Panggil Calon Wamen dan Kepala Badan, Didominasi dari Kalangan Ini
BACA JUGA:Biji Durian Ternyata Selain Rasanya Enak, Juga Berguna Bagi Kesehatan, Berikut Khasiatnya
Terobosan ini juga menjadi upaya Kemenag untuk mencapai target pembangunan sumber daya manusia berkualitas menuju Indonesia Emas 2045.
Ia juga menyoroti tiga isu utama dalam penyelenggaraan pendidikan di Kemenag yaitu terkait aksesibilitas, kualitas, dan toleransi.
"Aksesibilitas bukan hanya menghadirkan lembaga pendidikan, tetapi juga membuka peluang bagi seluruh masyarakat untuk menikmati layanan pendidikan. Pendidikan untuk semua harus menjadi misi bersama,” tegasnya.
Tidak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa semua irang memiliki kesempatan yang sama mendapatkan pendidikan tanpa adanya diskriminatif apapun.
“Sekolah menengah teologi tidak boleh menolak siswa karena alasan-alasan diskriminatif. Jika ada kendala ekonomi, misalnya, maka menjadi kewajiban Dirjen untuk menyediakan Program Indonesia Pintar (PIP). Begitu pula, siswa dengan disabilitas harus disediakan layanan yang ramah,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa aksesibilitas berarti menghadirkan lembaga pendidikan yang merangkul semua orang tanpa diskriminasi.
“Selanjutnya, persoalan kualitas. Akreditasi boleh unggul, tetapi jangan sampai mengabaikan kualitas pendidikan kita. Toleransi juga penting, agar lulusan kita kelak dapat berperan positif dalam kehidupan masyarakat luas,” jelas Sekjen.