"Jika pasal ini disahkan, maka publik hanya mendapat informasi seadanya dan tidak liputan mendalam serta kontrol sosial menjadi berbatas," tegas Yunike.
Tidak hanya itu, RUU Penyiaran juga bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 4 ayat 2, pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pada RUU Penyiaran pada Pasal 34 sampai 36. Kewenangan KPI untuk melakukan penyensoran dan pembredelan konten di media sosial.
"Ini juga akan mengancam kebebasan konten kreator maupun lembaga penyiaran yang mengunggah konten di internet. Konten siaran di internet wajib patuh pada Standar Isi Siaran (SIS) yang jelas-jelas mengancam kebebasan pers dan melanggar prinsip-prinsip HAM," ungkapnya.
Ditambahkan, Koordinator FKW KAHMI Bengkulu Safran Ansyori menegaskan, juga ada pasal problematik lainnya yang menghambat kerja jurnalis. Seperti di Pasal 8 A ayat (1) huruf q, sengketa pers karya jurnalistik terutama penyiaran itu nantinya diselesaikan oleh KPI.
BACA JUGA:Pembangunan Perpustakaan Digeber, Segini Progresnya Saat Ini
"Tentu bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sengketa pers itu diselesaikan oleh Dewan Pers melalui hak jawab, koreksi dan lainnya," beber Safran.
Kemudian, Pasal 51 E, sengketa pers akibat putusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan. Pasal 50B ayat 2K, pembungkaman kebebasan berekspresi lewat ancaman kabar bohong dan pencemaran nama baik. Padahal, Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1), tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-uang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024.
Pada draf RUU Penyiaran ini, juga menghapus Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran No 32/2002. Pasal-pasal tersebut, membatasi kepemilikan TV dan radio. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja.
"Hapus pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers, demokrasi dan HAM. Jangan bungkam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi," tegasnya.
BACA JUGA:2 Hari Jalan Lintas Terendam Banjir Rob, Ini Akibatnya
Aksi yang mendapatkan pengawalan dari aparat kepolisian Polresta Bengkulu ini, massa juga berorasi serta meminta Komisioner KPID Bengkulu dan seluruh anggota DPRD Provinsi Bengkulu, untuk menandatangani surat pernyataan penolakan RUU Penyiaran versi Maret 2024 serta bersurat ke KPI Pusat dan DPR RI.
Namun, surat pernyataan dari KPID Bengkulu dan seluruh anggota DPRD Provinsi Bengkulu, menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan RUU Penyiaran.
Meski demikian, aksi penolakan RUU Penyiaran ini juga ditandai dengan seluruh jurnalis yang ikut tergabung dalam aksi menandatangani penolakan RUU Penyiaran di atas sehelai spanduk banner kosong. Hanya ada satu anggota DPRD Provinsi Bengkulu ikut menandatangani di spanduk yaitu Suimi Fales.
Ketua KPID Bengkulu Albertce Rolando Thomas mengatakan, pihaknya tidak ada kewenangan menolak atau menyetujui tuntutan para jurnalis. Sebab, kewenangan itu ada di KPI Pusat.
BACA JUGA:3 Hari, 3 Pelajar Kaur Tenggelam, Orang Tua Diimbau Lakukan Ini
"Kami tidak ada kewenangan itu menolak ataupun menyetujui," terang Albertce.