Harianbengkuluekspress.id - Perambahan hutan lindung (HL) di Bengkulu Selatan (BS) makin marak terjadi. Perambahan dimulai sejak 5 tahun lalu, hingga saat ini belum ada tanda-tanda akan berakhir.
Justru masyarakat semakin berani merambah hutan untuk membuka kebun baru menanam kelapa sawit dan kopi. Tidak hanya itu, oknum masyarakat pun menjual kayu-kayu hasil rambahan tersebut.
Adapun kawasan hutan lindung yang dirambah itu adalah Hutan Lindung Raja Mandara dengan luas 20.575 hektare dari jumlah keseluruhan hutan lindung di BS 32.741 hektare.
Hutan Lindung Raja Mendara ini berada di kawasan Hutan Kecamatan Kedurang dan Kecamatan Air Nipis yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan Sumsel (Sumsel) di bawah kaki Gunung Patah dan Bukit Barisan Sumatera.
BACA JUGA:PLN Manna Ingatkan Ancaman Cuaca Ekstrem hingga Awal 2025
BACA JUGA:Motor Warga Kota Bengkulu Dibegal OTD, Begini Kronologis Kejadiannya
Dari Kota Manna, Ibu Kota Kabupaten Bengkulu Selatan menuju hutan lindung ini membutuhkan waktu sekitar 45 menit menggunakan kendaraan, kemudian dilanjutkan jalan kaki 6 hingga 12 jam.
Namun, dari sisi lain, untuk menuju hitan lindung saat ini juga bisa diakses menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi khusus untuk kebun. Hal ini dikarenakan hutan lindung tersebut berbatasan langsung dengan perkebunan masyarakat yang sudah memiliki akses jalan.
Berdasarkan penelusuran Bengkulu Ekspress, meskipun akses jalannya tidak mudah, perambahan makin masif terjadi. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya lahan perkebunan masyarakat di Bengkulu Selatan, ditambah lagi tanah mineral Hutan Raja Mendara sangat subur, cocok untuk sawit hingga kopi.
Selain itu, kayu hasil rambahan tersebut bisa dijual dengan harga tinggi. Kayu Tenam mencapai Rp 5 juta per kubik, sedangkan kayu Meranti dijual Rp 3,3 juta per kubik.
Rata-rata per orang menguasai 1 sampai 4 hektare Hutan Lindung Raja Mendara dan mereka beroperasi secara berkelompok.
Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (UPTD KPHL) Bengkulu Selatan pun tak berdaya menghadapi perambah ini.
Meski upaya pencegahan sudah dilakukan, namun tidak bisa maksimal karena terbatasnya personel, serta anggaran yang minim.
UPTD KPHL ini hanya memiliki 26 orang personel, yang bertugas melakukan pemantauan dan pengawasan hanya 10 orang, serta hanya ada 2 orang Polisi Kehutanan (Polhut) sedangkan luas wilayah kerja yang harus diawasi mencapai 48.686 hektare hutan.
Personel UPTD KPHL BS saat melakukan patroli rutin di kawasan HL Raja Mendara Kecamatan Kedurang dan mengamankan kayu hasil ilegal logging, BS.-RENALD/BE -