Harianbengkuluekspress.id - Rapat penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dan perusahaan di Kabupaten Mukomuko dan Bengkulu Utara menemui jalan buntu.
Pertemuan tersebut difasilitasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bengkulu, di Kantor Gubernur Bengkulu, pada Selasa 8 Oktober 2024, hanya menghasilkan kesepakatan untuk kembali menggelar rapat minggu depan.
Sebab, rapat itu hanya dihadiri oleh perwakilan masyarakat sekitar perusahaan, Pemda Mukomuko dan Bengkulu Utara, Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi Bengkulu, dan instansi terkait lainnya.
Sementara, Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN/ATR Bengkulu yang dijadwalkan memberikan penjelasan kepada masyarakat tidak hadir. Hanya dihadiri perwakilan.
Sementara perwakilan BPN itu, tidak bisa memberikan penjelasan mengingat terkait konflik yang terjadi di PT Bima Bumi Sejahtera (BBS) Malik Demak Mukomuko dan PT Bimas Raya Sawitindo (BRS) serta PT Purnawira Dharma Upaya (PDU) Bengkulu Utara.
BACA JUGA:Arisan Online Kembali Makan Korban, Mama Muda Diduga Sikat Rp 700 Juta
BACA JUGA:Polda Terima 24 Laporan, Dari KDRT, Penipuan Hingga Curanmor
Asisten III Setdaprov Bengkulu, H Nandar Munadi SSos MSi mengatakan, Kepala BPN yang dijadwalkan akan hadir ternyata tidak hadir. Sebab, hasil konfirmasi sedang mengikuti kegiatan di pusat.
"Minggu depan, kita akan mendengarkan penjelasan dari BPN. Apakah sudah sesuai dengan aturan yang berlaku atau belum," terang Nandar, usai menggelar rapat penyelesaian konflik agraria, di Ruang Rapat Rafflesia Kantor Gubernur Bengkulu, Selasa, 8 Oktober 2024.
Kehadiran Kepala BPN, menurut Nandar sangat penting. Karena konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan itu, terkait persoalan lahan hak guna usaha (HGU) status lahan dan sengeka lahan. Sementara untuk lahan plasma menjadi kewenangan pemerintah daerah.
"Karena menyangkut pertanahan, menyangkut HGU, maka itu ranahnya BPN. Kita minta BPN bisa menjelaskan persoalan itu," ujarnya.
Dalam konflik agraria tersebut, diketahui PT BBS dengan masyarakat Malin Deman berkonflik dengan 45 petani di sekitar perusahaan.
Lalu, PT BRS berkonflik soal pengelola lahan plasma yang belum jelas. Kemudian, PT PDU, berkonflik dengan masyarakat soal lahan petani masuk dalam HGU perusahaan. Masyarakat menuntut untuk dikeluarkan dari status HGU.
"Kita minta ini nanti secara mengclearkan masalah ini. Jadi sekarang masih proses, minggu depan minta penjelaskan BPN," tandas Nandar. (151)