Tantangan Ekonomi Indonesia 2025, Pertumbuhan Stagnan, Kesenjangan dan Harapan Baru

Senin 27 Jan 2025 - 10:58 WIB
Reporter : Endi
Editor : Asrianto

“Kalau Indonesia butuh investasi 7 persen untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi 1 persen, sementara negara ASEAN lain hanya 3-4 persen, itu artinya investasi kita tidak efisien,” tegasnya.

Kesenjangan pendapatan juga menjadi isu besar yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024, rasio gini Indonesia tercatat di angka 0,379, mendekati level 0,4 yang menunjukkan kesenjangan semakin tinggi.

Anton, menggambarkan ketimpangan ini dengan perbandingan sederhana: “Empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan 1.000 orang biasa.”

Laporan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Juli 2024 semakin memperkuat fakta tersebut. Sebanyak 98,9 persen rekening di Indonesia memiliki saldo di bawah Rp100 juta, yang menunjukkan disparitas kekayaan yang luar biasa.

Tantangan lain yang menggerogoti perekonomian Indonesia adalah korupsi. Menurut riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), 40 persen anggaran APBN setiap tahun mengalir ke kantong koruptor.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp56 triliun pada 2023, dengan hanya Rp7,3 triliun yang berhasil dikembalikan.

Anton, menjelaskan bahwa korupsi, terutama dalam bentuk penyuapan, membuat investor enggan menanamkan modal di Indonesia.

“Biaya investasi di Indonesia tinggi, ditambah pelayanan birokrasi yang lambat, ini sangat mengganggu iklim investasi,” ujarnya.

Tingginya ketergantungan pada impor juga menjadi tantangan berat bagi perekonomian. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang memberikan relaksasi impor pada berbagai komoditas seperti besi baja, tekstil, dan produk elektronik, membuat industri lokal semakin terpuruk.

Salah satu dampaknya adalah kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, yang menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan.

“Ketergantungan impor kita ini sangat besar. Jika tidak segera membangun industri substitusi impor, dampaknya akan semakin parah,” kata Anton.

Anto, menekankan bahwa pemerintah perlu fokus pada penguatan kelas menengah, yang merupakan motor penggerak ekonomi nasional.

Salah satu caranya adalah memperluas program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) ke kelompok kelas menengah bawah, terutama untuk pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, pemerintah harus mengembangkan industri formal untuk menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kompetensi tenaga kerja.

“Ketika lapangan kerja formal diperluas, itu akan membantu kelas menengah kita dan memacu pertumbuhan ekonomi,” tambah Anton.

BACA JUGA:Jadwal dan Mekanisme PPPK Paruh Waktu Resmi Mendapatkan NIP, Simak Penjelasannya

Kategori :