BENGKULU, BE - Dua orang tersangka dugaan korupsi proyek revitalisasi dan pengembangan Asrama Haji Bengkulu tahun anggaran 2020-2021, selangkah lagi menuju persidangan.
Pasalnya, berkas perkara tersangka mantan Direktur Cabang PT Bahana Krida Nusantara (BKN) berinisial SU dan juga tersangka PS saat ini sudah dilimpahkan Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Bengkulu. Untuk segera dilimpahkan ke Pegadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu, untuk menjalani persidangan perdana.
"Ya benar, tersangka kasus asrama haji sudah tahap dua dari penyidik ke penuntut umum," ungkap Kasi Penkum Kejati Bengkulu, Ristianti Andriani SH MH melalui Kasitut Kejati Bengkulu, Rozano Yudistira, Jumat (1/12).
Ia menyebutkan, sekarang ini JPU Kejati Bengkulu, sedang menyiapkan dakwaan untuk menjerat kedua tersangka pada persidangan perdana di PN Tipikor Bengkulu nanti.
"Untuk selanjutnya kita akan menyiapkan dakwaan, dan melimpahkan berkas perkara kedua tersangka asrama haji (SU dan PS, red) ke Pengadilan," terangnya.
Ia menjelaskan, dari hasil penghitungan kerugian negara (KN) oleh auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Bengkulu, KN kasus ini mencapai Rp 1,28 miliar. Dari nilai proyek revitalisasi serta pengembangan asrama haji Bengkulu tahun anggaran 2020-2021 dengan pagu Rp 38 miliar.
"Dari total KN, total pengembalian KN yang dititipkan dua tersangka PS dan KN serta para saksi mencapai Rp 798 juta. KN yang masih tersisa mencapai Rp 482 juta lagi," tutupnya.
Untuk diketahui juga, tersangka SU sedari awal memenangkan proyek asrama haji telah menerima uang muka. Uang yang dikembalikan para saksi atas fee pinjam bendera perusahaan untuk pengerjaan proyek tersebut.
Para saksi yang turut mengembalikan uang itu sudah pernah diperiksa penyidik, terungkap aliran fee pinjam bendera itu dari hasil pemeriksaan.
Seperti diketahui, dalam penyidikan proyek revitalisasi Asrama Haji ini berfokus pada ketidak benaran pada saat putus kontrak. Yang bermasalah terkait putus kontrak dalam pengerjaan oleh kontraktor pertama yakni PT. BKN. Dari putus kontrak tersebut ditemukan selisih ataupun pada saat itu dinamakan kelebihan bayar. Realisasi keuangan negara berbeda dengan realisasi fisik.
Sehingga terhadap adanya selisih pekerjaan yang tidak sesuai dengan kenyataan itu tentu timbul kerugian negara. Pasalnya jaminan uang muka dan jaminan uang pelaksanaan senilai Rp 3,8 miliar yang seharusnya dikembalikan oleh Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo) serta PT BKN, diduga belum dikembalikan.
Sebelum naik penyidikan, kasus ini sudah sempat ditangani Jaksa Pengacara Negara (JPN) Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejati Bengkulu. Hingga, kemudian dilimpahkan ke Bidang Pidsus Kejati Bengkulu. Diketahui, sumber dana proyek ini berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Waktu itu karena pandemi Covid-19, tidak selesai dan putus kontrak. (529)