Logical Fallacy Penyediaan Alat Kontrasepsi Bagi Kalangan Remaja dan Usia Sekolah
Asma Nadia Harahap (Menteri Pemberdayaan Perempuan BEM KBM UNIB 2024)-Istimewa/Bengkuluekspress.-
Pertama, pembahasan panas atas kontroversi penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja merupakan logical fallacy yang menyebabkan ambiguitas akan pasal tersebut.
Bagaimana tidak? Secara tidak langsung regulasi tersebut melegalkan seks bebas bagi usia pelajar dan remaja dengan mendukung penyediaan alat kontrasepsi.
Lalu, tidak ada urgensi khusus yang mengharuskan pemerintah membuat aturan penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja beda halnya jika penyediaan tersebut ditujukan bagi kalangan yang sudah menikah sebagai bentuk upaya menjaga kesehatan alat reproduksi.
Ambiguitas pasal tersebut dapat disalahgunakan serta melanggengkan seks bebas dikalangan remaja.
Kedua, ketika terdapat logical fallacy dalam penyediaan alat kontrasepsi bagi usia pelajar dan remaja yang menimbulkan ambiguitas pelanggengan seks bebas dan seks diluar nikah jelas secara norma yang berlaku tidak dapat dibenarkan.
Berdasarkan tingkatan norma yang tertinggi adalah norma agama jelas perilaku seks bebas melanggar norma agama.
Dalam konsep ajaran Islam perbuatan zina atau hubungan seks yang dilakukan tanpa adanya hubungan suami istri merupakan dosa besar bahkan untuk mendekati perbuatan zina saja dilarang.
BACA JUGA:Keren dan Tangguh, 4 HP Samsung Turun Harga, Berikut Daftarnya
BACA JUGA:Nilai Tukar Rupiah Pagi Ini, Rabu 14 Agustus 2024, Menguat Lagi Terhadap Dolar AS
Dalam tataran falsafah hidup bangsa yang kita anut yaitu Pancasila tidak membenarkan perbuatan yang sifatnya amoral dan nir-etika terutama seks bebas dan seks diluar nikah yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Jika dilihat dalam tataran sosiologis, penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja yang berujung pada didukungnya seks diluar nikah juga bertentangan dengan budaya ketimuran yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Jelas seks diluar nikah bukan budaya Indonesia tetapi adalah budaya barat yang tidak sepatutnya untuk diadopsi oleh masyarakat Indonesia yang hal tersebut bertentangan pula dengan norma kesusilaan.
Ketiga, dalam membentuk suatu aturan hukum harus memuat 3 landasan yaitu landasan filosofis (philosophische Grondslag), landasan yuridis (wettelijke Grondslag), dan landasan sosiologis (Sociologische Grondslag).
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus pula didasarkan pada asas-asas peraturan perundang-undangan salah satunya adalah kejelasan rumusan yang termuat dalam pasal.
Berdasarkan hemat penulis, pasal 103 dalam perumusannya tidak jelas serta tidak ada pasal yang menjelaskan lebih lanjut mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja.