BENGKULU, BE - Tidak lama lagi, kasus dugaan korupsi proyek revitalisasi dan pengembangan Asrama Haji Bengkulu tahun anggaran 2020-2021 yang ditangani tim penyidik tindak pidana khusus (pidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu akan berlanjut ke meja hijau (persidangan).
Aspidsus Kejati Bengkulu melalui Kepala Seksi Penyidikan (Kasidik) Pidsus Kejati, Danang Prasetyo SH MH menyampaikan, penyidik telah melengkapi petunjuk dari penuntut umum. Dalam penyempurnaan berkas perkara dari dua tersangka mantan Direktur Cabang PT Bahana Krida Nusantara (BKN) berinisial SU dan PS.
"Sebentar lagi, sekarang ini masih menunggu (dinyatakan P.21, red), karena memang banyak berkas lainnya yang masih ditangani penuntut umum dari penyidik kepolisian," ucap Danang, Jumat (3/11).
Ia menyebutkan, beberapa petunjuk yang sudah dilengkapi penyidik itu, untuk menyempurnakan berkas perkara tersangka SU sebelum dinyatakan P.21 atau lengkap untuk dilimpahkan ke pengadilan.
"Seperti apa hasilnya kita lihat nanti, yang jelas sudah dipenuhi petunjuknya," imbuhnya.
Sembari itu, ia menyebutkan, penyidik juga masih terus menelusuri pihak-pihak yang lain yang diduga menikmati hasil dugaan korupsi proyek revitalisasi dan pengembangan Asrama Haji Bengkulu.
"Dari hasil penghitungan kerugian negara (KN) oleh auditor BPKP Perwakilan Bengkulu, KN kasus ini mencapai Rp 1,28 miliar. Sementara itu, total pengembalian KN yang dititipkan dua tersangka mantan Direktur Cabang PT Bahana Krida Nusantara (BKN) berinisial SU dan PS serta para saksi mencapai Rp 798 juta. Setidaknya KN yang masih tersisa mencapai Rp 482 juta lagi," ungkapnya.
Untuk diketahui, tersangka SU sedari awal memenangkan proyek Asrama Haji telah menerima uang muka. Uang yang dikembalikan para saksi adalah fee pinjam bendera perusahaan untuk pengerjaan proyek tersebut. Para saksi yang turut mengembalikan uang itu sudah pernah diperiksa penyidik, terungkap aliran fee pinjam bendera itu dari hasil pemeriksaan.
Seperti diketahui, dalam penyidikan proyek revitalisasi Asrama Haji ini berfokus pada ketidakbenaran pada saat putus kontrak. Yang bermasalah terkait putus kontrak dalam pengerjaan oleh kontraktor pertama yakni PT BKN. Dari putus kontrak tersebut ditemukan selisih atau pada saat itu dinamakan kelebihan bayar. Realisasi keuangan negara berbeda dengan realisasi fisik.
Sehingga terhadap adanya selisih pekerjaan yang tidak sesuai dengan kenyataan itu tentu timbul kerugian negara.
Pasalnya, jaminan uang muka dan jaminan uang pelaksanaan senilai Rp 3,8 miliar yang seharusnya dikembalikan oleh Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo) serta PT BKN, diduga belum dikembalikan.
Sebelum naik penyidikan, kasus ini sudah sempat ditangani Jaksa Pengacara Negara (JPN) Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejati Bengkulu. Hingga kemudian dilimpahkan ke Bidang Pidsus Kejati Bengkulu. Diketahui sumber dana proyek ini berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Waktu itu karena pandemi Covid-19, tidak selesai dan putus kontrak. (529)